Kamis, 14 Mei 2009

Ayam Kampung, Permasalahan dan Harapan

Oleh Suharyanto

ayam pelung

Dunia perunggasan nasional dalam gejolak. Demikianlah kalimat yang mungkin tepat untuk menggambarkan bagaimana situasi perunggasan kita saat ini yang seiring dengan krisis ekonomi yang tiada menentu. Gejolak perunggasan –yang dalam hal ini adalah per-’ayam’-an, cukup rumit untuk ditelusuri bagai mengurai benang kusut. Mulai fluktuasi harga broiler, produksi DOC yang (sekarang) kekurangan, harga pakan yang relatif tinggi, belum harmonisnya hubungan antara peternak kecil dan besar, dan berbagai permasalahan lainnya cukup membuat “resah” perekonomian nasional dan bikin “pusing” para penentu kebijaksanaan.

Namun, di tengah gejolak per-’ayam’-an itu, ada sekelompok ayam yang sepi dari hingar bingar tersebut. Ia adalah ayam kampung. Ya, ayam kampung memang sepi , adem ayem, seakan tidak terpengaruh oleh situasi yang bergejolak di lingkungannya. Ayam kampung sepi dari pembicaraan orang, sepi dari naiknya harga pakan, sepi dari sirkulasi pasar, sepi dari program ini dan itu, bahkan sepi juga dari sentuhan tangan para pengusaha.

Mengapa demikian? Apakah ayam kampung itu “kesepian” dan “minder” sehingga tidak punya nyali untuk tampil di kancah perunggasan? Atau karena atribut “kampung” membuatnya sepi dari “peredaran”. Tapi bukankah pemerintah juga sudah menaikkan “derajat”-nya dengan mengganti nama menjadi ayam buras (bukan ras). Tokh ayam ini belum juga sempat dilirik oleh para pelaku usaha peternakan, apa lagi untuk dibudidayakan secara besar-besaran.

Banyak kalangan baik itu pengamat, praktisi, maupun peneliti yang mengemukakan bahwa sebenarnya ayam kampung itu cukup potensial untuk bersaing di kancah perunggasan. Beberapa diantaranya adalah melalui intensifikasi pemeliharaan. Jadi sistem pemeliharaan yang selama ini hanya ‘sekedarnya’ harus dirubah menjadi lebih ‘moderen’. Akan tetapi perlu juga kita akui bahwa ayam kampung masih memiliki permasalahan yang membuatnya belum dijadikan pilihan usaha peternakan.

Perbaikan sistem melalui pola intensifikasi pemeliharaan merupakan cara atau pilihan yang telah cukup banyak dilakukan oleh peternak (kecil). Hasilnyapun agaknya tidak mengecewakan, yaitu dapat meningkatkan pendapatan peternak melalui cara ini. Akan tetapi nilai tukar produk ayam kampung masih diuntungkan oleh adanya anggapan-anggapan tradisi, seperti: telur ayam kampung memiliki khasiat tertentu yang tidak dimiliki oleh telur ayam ras, rasa dagingnya yang lebih enak, dan lain-lain angapan sejenis. Bukan berarti angapan-anggapan tersebut salah atau perlu disalahkan, tetapi yang perlu diperhatikan adalah bahwa gejolak permintaan para konsumen itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor ekonomis. Kalau dibandingkan dengan harga produk-produk ayam ras, memang lebih mahal. Juga bagi produsen, ia akan memilih komoditas yang efisien dari segi pemeliharaan.

Selain itu ketersediaan produk ayam kampung tidak kontinyu, sementara permintaan akan daging dan telur cenderung meningkat secara eksponensial. Hal ini membuat peluang pasar ayam kampung ‘direbut’oleh ayam ras. Untuk permasalahan ini agaknya perlu adanya program pembibitan ayam kampung untuk mendapat suplai bibit secara kontinyu. Hanya saja permasalahan ini adalah daur reproduksi ayam kampung relatif lebih lama/panjang sehingga cukup mengganggu kelancaran ketersediaan bibit. Hal ini karena ayam kampung karus kawin, bertelur, mengeram dan menetaskan, dan memelihara anak. Mengenai sifat mengeram dan memelihara anak merupakan sifat alami yang tidak bisa dihilangkan begitu saja, tetapi dapat dikurangi/manipulasi. Mengeram dan memelihara anak memerlukan jangka waktu tertentu sehingga upaya yang dapat kita lakukan adalah mengurangi lamanya jangka waktu tersebut seperti, tugas mengeram dan menetaskan telur diserahkan kepada mesin tetas sehingga ayam tidak perlu lagi mengerami telurnya, meskipun “hasrat” untuk mengeram tetap ada tetapi telah diminimalkan. Demikian juga dengan mengambil alih “hak” ayam jantan melalui inseminasi buatan merupakan sarana yang dapat dimanfaatkan untuk mempermudah upaya pembibitan.

Pilihan lain yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki mutu genetik ayam kampung. Untuk ini peranan seleksi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan bibit-bibit ayam kampung sesuai dengan yang diharapkan. Apa lagi ayam kampung itu sendiri cukup beragam. Ini tentunya memberi peluang bagi kita untuk memilih dan memilah ayam-ayam ungulan. Sejalan dengan ini dapat pula dilakukan pemuliabiakan melalui persilangan antaragam ayam kampung. Beberapa daerah di Indonesia memiliki ayam kampung yang tipikal, misalnya, ayam Nunukan di daerah Kalimantan, ayam Kedu di daerah Kedu (Jawa Tengah), dan masih banyak lagi ragam ayam kampung sesuai dengan kekhasannya masing-masing. Bila semua itu dimanfaatkan dengan baik maka akan dapat meramaikan dunia persilangan ayam kampung dengan harapan akan muncul “jawara-jawara” unggulan.

Akan sangat menggembirakan lagi kalau kita dapat “menciptakan” ayam ras dari ayam-ayam kampung kita sendiri. Ini membutuhkan teknologi rekayasa genetika. Dengan mengotak-atik gen ayam kampung kita ciptakan ayam ras. Sebagaimana kita ketahui bahwa nenek moyang ayam ras adalah ayam kampung juga. Maka tidaklah menutup kemungkinan kita bisa memiliki Parent Stock sendiri. Contohnya adalah Mesir, negara berkembang yang sudah mampu menciptakan ayam ras dari ayam-ayam lokalnya. Kenapa kita mesti tidak bisa? Memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, ini membutuhkan proses yang relatif panjang dan lama.

Ada satu lagi yang cukup memberi peluang bagi ayam kampung untuk bersaing, yaitu memanfaatkan isu-isu aktual dan global. Isu-isu global yang turut mewarnai pola konsumsi diantaranya adalah back to nature, animal walfare,dan consumer protection. Berkenaan dengan hal tersebut, di negeri-negeri yang telah maju, para konsumen lebih menghargai telur yang dihasilkan dari ayam-ayam yang dipelihara dengan sistem range daripada sistem bateray yang dianggap ‘menyiksa’ ayam. Mereka juga lebih memilih telur dan daging yang lebih alami, misalnya bebas zat aditif buatan, low fat, low cholesterol, dan lain-lain yang sering dikaitkan dengan aspek kesehatan dan keamanan tubuh manusia. Meskipun ini baru berlaku di negara-negara maju bukan berarti tidak akan berlaku di Indonesia. Bukankah John Naisbitt telah “membuat” dunia tanpa batas (borderless world), sehingga memungkinkan konsumen dari segala penjuru dunia memilih produk-produk negeri ini.

Untuk yang satu ini, agaknya ayam kampung cukup memenuhi persyaratan isu global tersebut. Tinggal bagaimana kita bisa mengemasnya dalam “bahasa” yang lebih menarik dan ilmiah. Kita tidak lagi harus mengatakan bahwa telur ayam kampung bisa sebagai obat kuat, dapat menyembuhkan orang kesetanan, atau ayam hitam legam dapat berkhasiat sebagai jamu, dan sebagainya yang cenderung “mistis”. Dengan mengemasnya secara ilmiah sesuai dengan tuntutan konsumen dewasa ini maka produk ayam kampung cukup menjanjikan. Telur ayam kampung tidak lagi hanya dijual pada mbok-mbok Jamu, tetapi ke hotel-hotel berbintang.

Akhirnya sepinya ayam kampung dari hingar bingar dunia perungasan bukan berarti tidak berpotensi untuk dibudidayakan oleh pengusaha. Hanya saja ini membutuhkan kerja keras dari semua pihak dan saling kerja sama antara peternak dengan lembaga-lembaga penelitian untuk terus menggali potensi ayam kampung. ::::::


sumber: http://suharyanto.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar