Tahun 2009 pun sudah berlalu, harga telur belum menunjukan tanda-tanda ke arah yang membaik. Justru harga jagungnya yang kian mencekik. Lambanya kenaikan harga telur ini disebabkan karena masih banyaknya dari peternak yang mempertahankan populasinya. Sementara kebutuhan telurpun tidak mengalami kenaikan.
Sepengetahuan saya, kalau populasi layer di Blitar ini masih aja stabil. Tapi justru kenaikan populasi ini terjadi hampir di masing-masing kota di pulau jawa ini. Sehingga tetap saja terjadi over produksi telur.
Ada 2 alternatif yang mestinya bisa di tempuh, yang pertama adalah meningkatkan pemasaran, tentunya pemasaran telur ini tidak hanya di Indonesia saja tetapi ke luar negeri juga. Tetapi untuk solusi ini kita mesti melihat juga apakah harga telur di negeri kita ini mampu untuk di ekspor ke negara tetangga. Kalau harga di sini masih lebih tinggi, maka hal itu tidak mungkin untuk di laksanakan. Sehingga pemerintah perlu juga memperhatikan kenapa biaya produksi telur di negara kita cukup tinggi. Dari segi tenaga kerja sebenarnya kita bisa lebih murah, hanya dari pakan nya saja harganya terlalu tinggi, mungkin karena tingginya biaya import, karena sebagian besar komponen konsentrat ini menggunakan bahan baku import.
Alternatif ke dua adalah pengurangan populasi, sepertinya hal ini sulit sekali di aplikasikan, kecuali breeding layer yang mengurangi produksi DOC nya. Jika berharap dari kesadaran masing masing peternak untuk mengurangi populasi rasanya tidak mungkin. Tetapi, jika kita melihat sejarah, sebuah negara besar tidak akan pernah mengurangi produksinya untuk mencapai kemajuan. Tetapi dengan memperluas pasarnya.
Jadi menurut saya, mau tidak mau harga telur ini akan membaik tetap dengan seleksi alam. Sebuah penyelesaian yang bukan menuju ke arah sebuah kemajuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar